Senin, 10 Desember 2012

pondok pesantren syaichona moh.holil di bangkalan

Diposting oleh roro sweets di 23.54

PONDOK PESANTREN SYAICHONA MOH. CHOLIL BANGKALAN-MADURA [1]

 

RESUME

Pondok Pesantren Syaichona Moh. Cholil Bangkalan-Madura dan Pondok Pesantren Salafiyah Syafi’iyah Sukorejo-Situbondo merupakan dua lembaga pendidikan yang cukup terkenal di Jawa Timur. Dua pesantren ini sudah sejak lama berkiprah mendidik masyarakat dan melahirkan sejumlah tokoh yang banyak menorehkan pengaruh bagi bangsa dan negara ini. Hubungan dua pesantren boleh dibilang cukup dekat, hubungan sahabat. Sebab, seperti diketahui, KH. Mohammad Khalil, pendiri Pesantren Syaichona Moh. Cholil, merupakan sahabat karib dari KH. Syamsul Arifin, pendiri Pesantren Salafiyah Syafi’iyah Sukorejo. Keduanya asli keturunan Madura. Bahkan, KH. As’ad, putra dari KH. Syamsul Arifin, adalah salah seorang santri kesayangan KH. Mohammad Khalil. Dan keduanya sama-sama terlibat langsung dalam pendirian ormas keagamaan terbesar di Indonesia, Nahdhatul Ulama.
Guna mewujudkan proses pendidikan dan pengajaran yang bagus, dua pesantren tersebut telah mengembangkan sejumlah lembaga pendidikan, mulai dari tingkat dasar, menengah, dan bahkan perguruan tinggi. Sistem pendidikan yang dikembangkan oleh dua pesantren tersebut yang berlangsung selama 24 jam, tenyata telah menarik minat masyarakat di sekitarnya, atau bahkan masyarakat luar daerah. Hal ini terlihat dari banyaknya masyarakat memasrahkan putra-putri mereka untuk dididik di kedua pesantren itu. Tidak hanya itu, dalam hal-hal kecil, seperti urusan perkawinan, dll—bahkan aspek-aspek kehidupan lainnya—para penduduk rupanya lebih memercayakan penanganannya kepada dua pesantren bersangkutan.
Sebagai lembaga pendidikan yang mempunyai tugas membina dan membimbing masyarakat, dua pesantren ini telah menumbuh-kembangkan sejumlah nilai yang sangat dibutuhkan negeri ini demi menjaga kesatuan dan keutuhannya. Nilai-nilai tersebut antara lain adalah nilai kesetaraan, toleransi, keadilan, anti kekerasan, kesederhanaan, kemandirian, keadilan, keikhlasan, dan lain sebagainya. 
PENGANTAR
EKSISTENSI Pondok Pesantren di tengah pergulatan modernitas saat ini tetap signifikan. Sebagai lembaga pendidikan tertua di Indonesia pesantren memiliki kontribusi penting dalam mencerdaskan kehidupan bangsa. Lembaga pendidikan ini layak dipertimbangkan dalam proses pembangunan bangsa di bidang pendidikan, keagamaan dan moral. Ditinjau secara historis, pesantren memiliki pengalaman luar biasa dalam membina, mencerdaskan dan mengembangkan masyarakat. Bahkan, pesantren mampu meningkatkan perannya secara mandiri dengan menggali potensi yang dimiliki masyarakat di sekitarnya. Pesantren telah lama menyadari bahwa pembangunan sumber daya manusia (SDM) tidak hanya menjadi tanggung jawab pemerintah, tetapi juga semua komponen masyarakat, termasuk dunia pesantren sendiri.
Pesantren dilahirkan setidaknya untuk memberikan respon terhadap situasi dan kondisi sosial suatu masyarakat yang tengah dihadapkan pada runtuhnya sendi-sendi moral, melalu transformasi nilai yang ditawarkannya, yaitu amar ma’ruf nahi munkar. Pesantren juga memiliki misi menyebarluaskan informasi tentang universalitas Islam ke seluruh Nusantara yang berbentuk pluralis. Dalam misi ini pesantren lebih berorientasi pada peran pesantren sebagai sebuah lembaga pendidikan Islam.
Mengembangkan peran pesantren dalam pembangunan merupakan langkah strategis dalam membangun pendidikan. Keberadaan pesantren sampai saat ini membuktikan keberhasilannya menjawab tantangan zaman. Kemampuan adaptatif pesantren atas perkembangan zaman memperkuat eksistensinya sekaligus menunjukkan keunggulannya. Keunggulan tersebut terletak pada kemampuan pesantren menggabungkan kecerdasan intelektual, emosional, dan spiritual.
Dari pesantren sejatinya lahir manusia yang membawa masyarakat (negara) ini mampu menapaki modernitas tanpa kehilangan akar spiritualitasnya. Dalam perkembangan terakhir, pesantren telah terbukti bahwa dari pesantren lahir banyak pemimpin bangsa dan masyarakat. Sejarah telah mencatat prestasi pesantren dalam membentuk kultur benteng pertahanan bagi nilai-nilai religius.[1]
Kemampuan pesantren dalam mengembangkan diri dan mengembangkan masyarakat sekitarnya dikarenakan adanya potensi yang dimiliki oleh pesantren, di antara sebagai berikut: (1). Kegiatan pondok pesantren hidup selama 24 jam. Dengan pola 24 jam tersebut, baik pondok pesantren sebagai lembaga pendidikan keagamaan, soasial kemasyarakatan, atau sebagai lembaga pengembangan potensi umat dapat diterapkan secara tuntas, optimal dan terpadu; (2). Mengakar pada masyarakat. Pondok pesantren banyak tumbuh dan berkembang umumnya di daerah pedesaan karena tuntutan masyarakat yang menghendaki berdirinya pondok pesantren. Dengan demikian, keterikatan pesantren dengan masyarakat merupakan hal yang sangat penting. Kecenderungan masyarakat untuk menyekolahkan anak-anak mereka ke pondok pesantren memang didasari oleh kepercayaan mereka terhadap pembinaan yang dilakukan oleh pondok pesantren yang lebih mengutamakan pendidikan agama.[2] Di sini, paradigma pendidikan di pesantren tidak hanya difokuskan untuk mengkaji dan mempelajari teks-teks keagamaan dengan metode hafalan, bersifat teknis, dan mengutamakan pengayaan materi. Pendidikan di pesantren tidak sekedar mewariskan kebudayaan dari generasi terdahulu kepada generasi penerus yang hanya memungkinkan bersifat reseptif, pasif dan menerima begitu saja, melainkan berusaha mengembangkan dan melatih para santri untuk lebih bersifat direktif, mendorong agar selalu berupaya maju, kreatif dan berjiwa membangun.
Perkembangan pesantren dengan sistem pendidikannya yang khas telah mampu menyejajarkan dirinya dengan lembaga pendidikan pada umumnya. Bahkan di pesantren, sudah dibuka sekolah umum (selain madrasah) sebagaimana layaknya sekolah umum lainnya. Kedua model pendidikan (sekolah dan madrasah) sama-sama berkembang di pesantren. Kenyataan ini menjadi aset yang luar biasa baik bagi perkembangan pendidikan pesantren maupun pendidikan nasional pada masa yang akan datang. Dari sana diharapkan tumbuh kaum intelektual yang berwawasan luas dengan landasan spiritual yang kuat.
Dengan melihat peranan pesantren yang sedemikian besarnya bagi pembangunan masyarakat dan bangsa, maka Yayasan Rumah Kitab bekerja sama dengan UNISMA, melakukan penelitian Best Practice Nilai-nilai Kebangsaan yang diduga hidup dan diterapkan di pesantren. Penelitian ini dilakukan di 2 pondok pesantren: Syaichona Moh. Cholil Bangkalan-Madura dan Salafiyah Syafi’iyah Sukorejo-Situbondo.

LATAR BELAKANG PENELITIAN

Krisis multi-dimensional adalah suatu situasi di mana bangsa dan negeri kita dewasa ini sedang dilanda oleh beraneka-ragam pertentangan besar maupun kecil dan berbagai keruwetan di bidang politik, ekonomi, sosial, dan juga kebobrokan moral. Krisis ini telah dan sedang terus memporak-porandakan berbagai sendi penting kehidupan bangsa. Begitu hebatnya krisis yang bersegi banyak ini, sehingga banyak orang kuatir akan terjadinya desintegrasi negara dan bangsa, atau membayangkan masa yang serba gelap di kemudian hari.
Pada saat terjadinya krisis multidimensional yang melanda pada sekitar tahun 1997-an, bangsa ini dilanda oleh berkembangnya sikap anarkhis dan ketidakpercayaan pada pemrintahan pada masa itu, yaitu pemerintahan Orde Baru, yang akhirnya terjadi reformasi pada negeri ini. Salah satu akibat buruk yang terjadi pada era reformasi itu adalah berkembangnya sikap tidak percaya terhadap ideologi negara, yaitu Pancasila sebagai asas tunggal negara. Tujuan utama dari reformasi seharusnya adalah mengembalikan jati diri bangsa dengan mensucikankembali nilai-nilai Pancasila yang telah ternoda oleh keditaktoran era Orde Baru. Akibat dari kegamangan tersebut adalah menyurutkan makna ideologis Pancasila sebagai perekat persatuan bangsa, maupun sebagai sarana untuk menumbuhkan kepercayaan bangsa negara lainnya yang akan berhubungan dengan Indonesia.
Berkaitan dengan sila kedua, yaitu Kemanusiaan yang Adil dan Beradab, negara kita ini sudah kurang rasa kemanusiannya. Penderitaan rakyat sudah berada jauh dari jangkauan pemerintah. Artinya, pemerintah sudah tidak tahu menahu tentang nasib masyarakat yang dilanda kemiskinan, kemelaratan, dan kelaparan. Kepentingan politik dan pribadi telah menggelapkan mata pemerintah terhadap krisis bangsa. Orang-orang kaya sudah tidak peduli terhadap si miskin, yang mana ini menimbulkan kesenjangan ekonomi yang sangat parah; yang kaya makin kaya, yang miskin makin miskin. Belum lagi kepedulian terhadap bencana alam yang akhir-akhir ini mendera beberapa wilayah di negeri ini. Sebagian orang, dengan tanpa perasaan sama sekali, mengatakan bahwa bencana itu adalah murka Tuhan terhadap mereka yang suka bermaksiat. Kiranya ini adalah kepicikan pikiran yang luar biasa.
Juga, terkait dengan sila Pancasila yang ketiga, yaitu Persatuan Indonesia, maka terdapat kondisi negatif yang terjadi pada bangsa ini. Sebagai buktinya adalah munculnya terorisme, munculnya gerakan radikalisme yang tidak jarang disertai dengan langkah anarkhis yang berakibat pada amuk massa, toleransi yang lemah pada perbedaan pendapat, munculnya gerakan separatisme di elemen kedaerahan, ketiadaan tokoh panutan, memburuknya iklim investasi, dan sebab-sebab lainnya. Maka saat ini memahami dan menerapkan nilai-nilai Pancasila adalah langkah utama yang harus dilakukan demi mengembalikan jati diri bangsa ini. Dalam kondisi semacam itu, bangsa Indonesia harus diyakinkan bahwa persatuan dan kesatuan nasional baik yang bernuansa struktural maupun kultural/ solidaritas sosial tetap bisa dipertahankan di negeri ini. Karena sesungguhnya bangsa ini terbentuk dari rasa penderitaan yang sama, yaitu pengalaman dijajah selama ratusan tahun, bukan terbentuk dari falsafah kedaerahan atau primordialisme. Dengan kesadaran itulah bangsa ini seharusnya dapat bersatu kembali dalam toleransi tinggi dan karakter bangsa yang majemuk dan dapat mengembalikan jati diri bangsa dalam satu fondasi kokoh sebagaimana termaktub dalam semboyan ‘Bhinneka Tunggal Ika’ (Berbeda-beda tetapi satu tujuan).
Kemudian terkait dengan sila kelima, yaitu Keadilan Sosial bagi Seluruh Rakyat Indonesia, negara ini sudah jauh dari fungsinya sebagai pelayan bagi rakyat. Negara ini tidak lagi melayani rakyat, tetapi melayani segelitir orang yang berkuasa. Maraknya kasus korupsi setidaknya menjadi indikator utama ketidaktegasan pemerintah dalam masalah hukum. Hukum selalu dijalankan manakala rakyat kecil yang melakukan pelanggaran. Tetapi hukum akan ‘ciut’ manakala pejabat yang bertindak di luar fungsinya.
Maka, pada era globalisasi ini, krisis ekonomi, ancaman bahaya terorisme, dan fundamentalisme merupakan tantangan tersendiri bagi bangsa Indonesia. Di samping itu, yang patut diwaspadai adalah pengelompokan suku bangsa di Indonesia yang kini semakin kuat. Untuk itu, saat ini negara kita sedang membutuhkan soliditas dan persatuan hingga sikap gotong-royong, maka masyarakat tidak boleh lagi mengutamakan kelompoknya, golonganya bahkan negara lain dibandingkan kepentingan negaranya. Untuk itu, sebaiknya setiap komponen masyarakat saling berinterospeksi diri untuk dikemudian bersatu bahu membahu membawa bangsa ini dari keterpurukan dan krisis multidimensi.
Ketika krisis multidimensi melanda bangsa ini, pondok pesantren kembali menjadi sorotan. Bagaimana tidak? Masyarakat Indonesia mayoritasnya adalah Muslim, yang mana sebagian dari mereka adalah santri yang pernah atau sedang mengenyam pendidikan di pesantren. Meski pendidikan bukan sepenuhnya tanggung jawab di pesantren, tetapi, pesantren, sebagai lembaga pendidikan tertua di negeri ini, dianggap telah melakukan banyak hal terkait dengan pembangunan karakter masyarakat Indonesia. Dan sekarang ini, ketika krisis melanda negeri ini, maka pesantren diharapkan bisa menjadi basis perbaikan beragam krisis melalui penanaman nilai-nilai moral dan spiritual yang hidup di dalamnya, terutama yang berkaitan dengan revitalisasi spirit kebangsaan. Sebab, pesantren sebagai lembaga pendidikan agama, mempunyai peluang yang besar dalam menawarkan gagasan tentang nilai-nilai yang disebutkan di atas, yaitu: kesetaraan, toleransi, keadilan, dan anti-kekerasan. Atau juga nilai-nilai lain yang berkaitan dengan pembangunan karakter individu.
      Maka, guna menggali nilai-nilai yang disebutkan di atas yang secara terus-menerus diajarkan pesantren terhadap masyarakat, dan guna memotret secara lebih dekat aktivitas pesantren dalam proses pembinaan dan pendidikan, RUMAH KITAB bekerjasama dengan UNISMA dan UNWAHAS, dan setelah mendapat persetujuan resmi dari DEPAG RI, merasa perlu melakukan studi lapangan terhadap pesantren. Studi lapangan ini, disamping dengan melihat secara langsung kondisi pondok pesantren dari dekat, juga dengan menela’ah secara lebih mendalam terhadap sumber-sumber ajaran yang ada di dalamnya, yang dalam hal ini adalah kitab kuning sebagai basis intelektual di pesantren.

Lokasi penelitian

Laporan ini berisi catatan penelitian di Pondok Pesantren Syaihona Moh. Cholil Bangkalan-Madura dan Pondok Pesantren Salafiyah Syafi’iyah Sukorejo-Situbondo.

Cakupan Masalah Penelitian

Penelitian ini bertujuan menggali nilai-nilai yang hidup dan berkembang di dua Pondok Pesantren, Syaichona Moh. Cholil Bangkalan-Madura dan Salafiyah Syafi’iyah Sukorejo-Situbondo, meliputi:
§  Profil Pondok Pesantren
§  Nilai-nilai yang berkembang di Pondok Pesantren

Metodologi Penelitian

Sebagai upaya untuk mengumpulkan berbagai informasi mengenai obyek penelitian, yaitu nilai-nilai kebangsaan, saya melakukan beberapa hal berikut: (1). Wawancara dengan beberapa tokoh pesantren, baik kiyai ataupun ustadz, dan beberapa santri; (2). Pengamatan langsung di pesantren dan sekitarnya; (3). Kajian terhadap beberapa teks kitab kuning yang ada di pesantren.
Terkait dengan yang pertama, saya sudah melakukan wawancara dengan sejumlah tokoh di dua pesantren: (1). Pesantren Syaichona Moh. Cholil: KH. Mohammad Nashih, Lc., Ibu Mutmaina, M.Si., Ust. Ihsan Fadlil, SE., dan Ust. Zainal Arifin; (2). Pesantren Salafiyah Syafi’iyah Sukorejo-Situbondo: Ibu Nyai Djuwairiyah, Ust. DR. Abu Yazid, LL.M., Ust. Imam Nakha’i, M.H.I., Ust. Hasana, Ust. Mahmudi Bajuri, Ust. Lalu Supratman, dan beberapa santri.
Sementara terkait dengan yang kedua, saya melakukan pengamatan langsung terhadap kondisi komplek Pesantren Syaichona Moh. Cholil Bangkalan-Madura dan Salafiyah Syafi’iyah Sukorejo-Situbondo yang meliputi masjid (mushalla), madrasah, lembaga-lembaga pendidikan yang ada di bawah naungan pesantren, asrama-asrama santri, sekretariat pesantren, dan sarana lainnya. Saya juga melakukan pengamatan langsung terhadap kondisi sekitar pesantren guna melihat secara lebih jelas pengaruh pesantren terhadap masyarakat dalam konteks pemberdayaan mereka.  
Adapun kaitannya dengan yang ketiga, saya mencoba mengkaji sejumlah kitab yang diduga kuat memuat nilai-nilai yang berhubungan dengan obyek penelitian, yaitu nilai-nilai kesetaraan, toleransi, keadilan, anti-kekerasan, dan sejumlah nilai lain yang ada kaitannya dengan pembentukan karakter individu santri. Untuk itu, selain melakukan kajian sendiri, saya juga mendiskusikan dengan beberapa tokoh yang dianggap berperan aktif mengajarkan kitab-kitab tersebut kepada para santri, baik melalui pengajaran di kelas, musyawarah buku, bahtsul masa`il, dan lai

0 komentar:

Posting Komentar

 

UTS KELAS 2 BAHASA Copyright © 2011 Design by Ipietoon Blogger Template | web hosting