PONDOK PESANTREN SYAICHONA MOH. CHOLIL BANGKALAN-MADURA [1]
RESUME
Pondok
Pesantren Syaichona Moh. Cholil Bangkalan-Madura dan Pondok Pesantren Salafiyah
Syafi’iyah Sukorejo-Situbondo merupakan dua lembaga pendidikan yang cukup terkenal
di Jawa Timur. Dua pesantren ini sudah sejak lama berkiprah mendidik masyarakat
dan melahirkan sejumlah tokoh yang banyak menorehkan pengaruh bagi bangsa dan
negara ini. Hubungan dua pesantren boleh dibilang cukup dekat, hubungan
sahabat. Sebab, seperti diketahui, KH. Mohammad Khalil, pendiri Pesantren
Syaichona Moh. Cholil, merupakan sahabat karib dari KH. Syamsul Arifin, pendiri
Pesantren Salafiyah Syafi’iyah Sukorejo. Keduanya asli keturunan Madura.
Bahkan, KH. As’ad, putra dari KH. Syamsul Arifin, adalah salah seorang santri
kesayangan KH. Mohammad Khalil. Dan keduanya sama-sama terlibat langsung dalam
pendirian ormas keagamaan terbesar di Indonesia, Nahdhatul Ulama.
Guna
mewujudkan proses pendidikan dan pengajaran yang bagus, dua pesantren tersebut
telah mengembangkan sejumlah lembaga pendidikan, mulai dari tingkat dasar,
menengah, dan bahkan perguruan tinggi. Sistem pendidikan yang dikembangkan oleh
dua pesantren tersebut yang berlangsung selama 24 jam, tenyata telah menarik
minat masyarakat di sekitarnya, atau bahkan masyarakat luar daerah. Hal ini
terlihat dari banyaknya masyarakat memasrahkan putra-putri mereka untuk dididik
di kedua pesantren itu. Tidak hanya itu, dalam hal-hal kecil, seperti urusan
perkawinan, dll—bahkan aspek-aspek kehidupan lainnya—para penduduk rupanya
lebih memercayakan penanganannya kepada dua pesantren bersangkutan.
Sebagai
lembaga pendidikan yang mempunyai tugas membina dan membimbing masyarakat, dua
pesantren ini telah menumbuh-kembangkan sejumlah nilai yang sangat dibutuhkan
negeri ini demi menjaga kesatuan dan keutuhannya. Nilai-nilai tersebut antara
lain adalah nilai kesetaraan, toleransi, keadilan, anti kekerasan, kesederhanaan,
kemandirian, keadilan, keikhlasan, dan lain sebagainya.
PENGANTAR
EKSISTENSI Pondok Pesantren
di tengah pergulatan modernitas saat ini tetap signifikan. Sebagai lembaga
pendidikan tertua di Indonesia pesantren memiliki kontribusi penting dalam
mencerdaskan kehidupan bangsa. Lembaga pendidikan ini layak dipertimbangkan dalam
proses pembangunan bangsa di bidang pendidikan, keagamaan dan moral. Ditinjau
secara historis, pesantren memiliki pengalaman luar biasa dalam membina,
mencerdaskan dan mengembangkan masyarakat. Bahkan, pesantren mampu meningkatkan
perannya secara mandiri dengan menggali potensi yang dimiliki masyarakat di
sekitarnya. Pesantren telah lama menyadari bahwa pembangunan sumber daya
manusia (SDM) tidak hanya menjadi tanggung jawab pemerintah, tetapi juga semua
komponen masyarakat, termasuk dunia pesantren sendiri.
Pesantren dilahirkan setidaknya untuk memberikan
respon terhadap situasi dan kondisi sosial suatu masyarakat yang tengah
dihadapkan pada runtuhnya sendi-sendi moral, melalu transformasi nilai yang
ditawarkannya, yaitu amar ma’ruf nahi
munkar. Pesantren juga memiliki misi menyebarluaskan informasi tentang
universalitas Islam ke seluruh Nusantara yang berbentuk pluralis. Dalam misi
ini pesantren lebih berorientasi pada peran pesantren sebagai sebuah lembaga
pendidikan Islam.
Mengembangkan peran pesantren dalam pembangunan
merupakan langkah strategis dalam membangun pendidikan. Keberadaan pesantren
sampai saat ini membuktikan keberhasilannya menjawab tantangan zaman. Kemampuan
adaptatif pesantren atas perkembangan zaman memperkuat eksistensinya sekaligus
menunjukkan keunggulannya. Keunggulan tersebut terletak pada kemampuan
pesantren menggabungkan kecerdasan intelektual, emosional, dan spiritual.
Dari pesantren sejatinya lahir manusia yang membawa
masyarakat (negara) ini mampu menapaki modernitas tanpa kehilangan akar
spiritualitasnya. Dalam perkembangan terakhir, pesantren telah terbukti bahwa
dari pesantren lahir banyak pemimpin bangsa dan masyarakat. Sejarah telah
mencatat prestasi pesantren dalam membentuk kultur benteng pertahanan bagi
nilai-nilai religius.[1]
Kemampuan pesantren dalam mengembangkan diri dan
mengembangkan masyarakat sekitarnya dikarenakan adanya potensi yang dimiliki
oleh pesantren, di antara sebagai berikut: (1). Kegiatan pondok pesantren hidup
selama 24 jam. Dengan pola 24 jam tersebut, baik pondok pesantren sebagai
lembaga pendidikan keagamaan, soasial kemasyarakatan, atau sebagai lembaga
pengembangan potensi umat dapat diterapkan secara tuntas, optimal dan terpadu;
(2). Mengakar pada masyarakat. Pondok pesantren banyak tumbuh dan berkembang
umumnya di daerah pedesaan karena tuntutan masyarakat yang menghendaki
berdirinya pondok pesantren. Dengan demikian, keterikatan pesantren dengan
masyarakat merupakan hal yang sangat penting. Kecenderungan masyarakat untuk
menyekolahkan anak-anak mereka ke pondok pesantren memang didasari oleh
kepercayaan mereka terhadap pembinaan yang dilakukan oleh pondok pesantren yang
lebih mengutamakan pendidikan agama.[2] Di
sini, paradigma pendidikan di pesantren tidak hanya difokuskan untuk mengkaji
dan mempelajari teks-teks keagamaan dengan metode hafalan, bersifat teknis, dan
mengutamakan pengayaan materi. Pendidikan di pesantren tidak sekedar mewariskan
kebudayaan dari generasi terdahulu kepada generasi penerus yang hanya
memungkinkan bersifat reseptif, pasif dan menerima begitu saja, melainkan
berusaha mengembangkan dan melatih para santri untuk lebih bersifat direktif,
mendorong agar selalu berupaya maju, kreatif dan berjiwa membangun.
Perkembangan pesantren dengan sistem pendidikannya
yang khas telah mampu menyejajarkan dirinya dengan lembaga pendidikan pada
umumnya. Bahkan di pesantren, sudah dibuka sekolah umum (selain madrasah)
sebagaimana layaknya sekolah umum lainnya. Kedua model pendidikan (sekolah dan
madrasah) sama-sama berkembang di pesantren. Kenyataan ini menjadi aset yang
luar biasa baik bagi perkembangan pendidikan pesantren maupun pendidikan
nasional pada masa yang akan datang. Dari sana diharapkan tumbuh kaum
intelektual yang berwawasan luas dengan landasan spiritual yang kuat.
Dengan melihat peranan pesantren yang sedemikian
besarnya bagi pembangunan masyarakat dan bangsa, maka Yayasan Rumah Kitab
bekerja sama dengan UNISMA, melakukan penelitian Best Practice Nilai-nilai Kebangsaan yang diduga hidup dan
diterapkan di pesantren. Penelitian ini dilakukan di 2 pondok pesantren:
Syaichona Moh. Cholil Bangkalan-Madura dan Salafiyah Syafi’iyah
Sukorejo-Situbondo.
LATAR BELAKANG PENELITIAN
Krisis multi-dimensional
adalah suatu situasi di mana bangsa dan negeri kita dewasa ini sedang dilanda
oleh beraneka-ragam pertentangan besar maupun kecil dan berbagai keruwetan di
bidang politik, ekonomi, sosial, dan juga kebobrokan moral. Krisis ini telah
dan sedang terus memporak-porandakan berbagai sendi penting kehidupan bangsa.
Begitu hebatnya krisis yang bersegi banyak ini, sehingga banyak orang kuatir
akan terjadinya desintegrasi negara dan bangsa, atau membayangkan masa yang serba
gelap di kemudian hari.
Pada saat terjadinya krisis multidimensional yang
melanda pada sekitar tahun 1997-an, bangsa ini dilanda oleh berkembangnya sikap
anarkhis dan ketidakpercayaan pada pemrintahan pada masa itu, yaitu
pemerintahan Orde Baru, yang akhirnya terjadi reformasi pada negeri ini. Salah
satu akibat buruk yang terjadi pada era reformasi itu adalah berkembangnya
sikap tidak percaya terhadap ideologi negara, yaitu Pancasila sebagai asas
tunggal negara. Tujuan utama dari reformasi seharusnya adalah mengembalikan
jati diri bangsa dengan mensucikankembali nilai-nilai Pancasila yang telah
ternoda oleh keditaktoran era Orde Baru. Akibat dari kegamangan tersebut adalah
menyurutkan makna ideologis Pancasila sebagai perekat persatuan bangsa, maupun
sebagai sarana untuk menumbuhkan kepercayaan bangsa negara lainnya yang akan
berhubungan dengan Indonesia.
Berkaitan dengan sila kedua, yaitu Kemanusiaan yang
Adil dan Beradab, negara kita ini sudah kurang rasa kemanusiannya. Penderitaan
rakyat sudah berada jauh dari jangkauan pemerintah. Artinya, pemerintah sudah
tidak tahu menahu tentang nasib masyarakat yang dilanda kemiskinan,
kemelaratan, dan kelaparan. Kepentingan politik dan pribadi telah menggelapkan
mata pemerintah terhadap krisis bangsa. Orang-orang kaya sudah tidak peduli
terhadap si miskin, yang mana ini menimbulkan kesenjangan ekonomi yang sangat
parah; yang kaya makin kaya, yang miskin makin miskin. Belum lagi kepedulian
terhadap bencana alam yang akhir-akhir ini mendera beberapa wilayah di negeri ini.
Sebagian orang, dengan tanpa perasaan sama sekali, mengatakan bahwa bencana itu
adalah murka Tuhan terhadap mereka yang suka bermaksiat. Kiranya ini adalah
kepicikan pikiran yang luar biasa.
Juga, terkait dengan sila Pancasila yang ketiga,
yaitu Persatuan Indonesia, maka terdapat kondisi negatif yang terjadi pada
bangsa ini. Sebagai buktinya adalah munculnya terorisme, munculnya gerakan
radikalisme yang tidak jarang disertai dengan langkah anarkhis yang berakibat
pada amuk massa, toleransi yang lemah pada perbedaan pendapat, munculnya
gerakan separatisme di elemen kedaerahan, ketiadaan tokoh panutan, memburuknya
iklim investasi, dan sebab-sebab lainnya. Maka saat ini memahami dan menerapkan
nilai-nilai Pancasila adalah langkah utama yang harus dilakukan demi
mengembalikan jati diri bangsa ini. Dalam kondisi semacam itu, bangsa Indonesia
harus diyakinkan bahwa persatuan dan kesatuan nasional baik yang bernuansa
struktural maupun kultural/ solidaritas sosial tetap bisa dipertahankan di
negeri ini. Karena sesungguhnya bangsa ini terbentuk dari rasa penderitaan yang
sama, yaitu pengalaman dijajah selama ratusan tahun, bukan terbentuk dari
falsafah kedaerahan atau primordialisme. Dengan kesadaran itulah bangsa ini
seharusnya dapat bersatu kembali dalam toleransi tinggi dan karakter bangsa
yang majemuk dan dapat mengembalikan jati diri bangsa dalam satu fondasi kokoh
sebagaimana termaktub dalam semboyan ‘Bhinneka
Tunggal Ika’ (Berbeda-beda tetapi satu tujuan).
Kemudian terkait dengan sila kelima, yaitu Keadilan Sosial
bagi Seluruh Rakyat Indonesia, negara ini sudah jauh dari fungsinya sebagai pelayan
bagi rakyat. Negara ini tidak lagi melayani rakyat, tetapi melayani segelitir
orang yang berkuasa. Maraknya kasus korupsi setidaknya menjadi indikator utama
ketidaktegasan pemerintah dalam masalah hukum. Hukum selalu dijalankan manakala
rakyat kecil yang melakukan pelanggaran. Tetapi hukum akan ‘ciut’ manakala
pejabat yang bertindak di luar fungsinya.
Maka, pada era
globalisasi ini, krisis ekonomi, ancaman bahaya terorisme, dan fundamentalisme
merupakan tantangan tersendiri bagi bangsa Indonesia. Di samping itu, yang
patut diwaspadai adalah pengelompokan suku bangsa di Indonesia yang
kini semakin kuat. Untuk itu, saat ini negara kita sedang membutuhkan
soliditas dan persatuan hingga sikap gotong-royong, maka masyarakat tidak boleh
lagi mengutamakan kelompoknya, golonganya bahkan negara lain dibandingkan
kepentingan negaranya. Untuk itu, sebaiknya setiap komponen masyarakat saling
berinterospeksi diri untuk dikemudian bersatu bahu membahu membawa bangsa ini
dari keterpurukan dan krisis multidimensi.
Ketika krisis multidimensi melanda bangsa ini, pondok
pesantren kembali menjadi sorotan. Bagaimana tidak? Masyarakat Indonesia
mayoritasnya adalah Muslim, yang mana sebagian dari mereka adalah santri yang
pernah atau sedang mengenyam pendidikan di pesantren. Meski pendidikan bukan
sepenuhnya tanggung jawab di pesantren, tetapi, pesantren, sebagai lembaga
pendidikan tertua di negeri ini, dianggap telah melakukan banyak hal terkait
dengan pembangunan karakter masyarakat Indonesia. Dan sekarang ini, ketika
krisis melanda negeri ini, maka pesantren diharapkan bisa menjadi basis
perbaikan beragam krisis melalui penanaman nilai-nilai moral dan spiritual yang
hidup di dalamnya, terutama yang berkaitan dengan revitalisasi spirit
kebangsaan. Sebab, pesantren sebagai lembaga pendidikan agama, mempunyai
peluang yang besar dalam menawarkan gagasan tentang nilai-nilai yang disebutkan
di atas, yaitu: kesetaraan, toleransi, keadilan, dan anti-kekerasan. Atau juga
nilai-nilai lain yang berkaitan dengan pembangunan karakter individu.
Maka, guna menggali nilai-nilai yang disebutkan di atas yang
secara terus-menerus diajarkan pesantren terhadap masyarakat, dan guna memotret
secara lebih dekat aktivitas pesantren dalam proses pembinaan dan pendidikan,
RUMAH KITAB bekerjasama dengan UNISMA dan UNWAHAS, dan setelah mendapat
persetujuan resmi dari DEPAG RI, merasa perlu melakukan studi lapangan terhadap
pesantren. Studi lapangan ini, disamping dengan melihat secara langsung kondisi
pondok pesantren dari dekat, juga dengan menela’ah secara lebih mendalam
terhadap sumber-sumber ajaran yang ada di dalamnya, yang dalam hal ini adalah
kitab kuning sebagai basis intelektual di pesantren.
Lokasi penelitian
Laporan ini berisi
catatan penelitian di Pondok Pesantren Syaihona Moh. Cholil Bangkalan-Madura
dan Pondok Pesantren Salafiyah Syafi’iyah Sukorejo-Situbondo.
Cakupan Masalah Penelitian
Penelitian ini bertujuan menggali
nilai-nilai yang hidup dan berkembang di dua Pondok Pesantren, Syaichona Moh.
Cholil Bangkalan-Madura dan Salafiyah Syafi’iyah Sukorejo-Situbondo, meliputi:
§ Profil Pondok Pesantren
Metodologi Penelitian
Sebagai upaya untuk
mengumpulkan berbagai informasi mengenai obyek penelitian, yaitu nilai-nilai
kebangsaan, saya melakukan beberapa hal berikut: (1). Wawancara dengan beberapa
tokoh pesantren, baik kiyai ataupun ustadz, dan beberapa santri; (2).
Pengamatan langsung di pesantren dan sekitarnya; (3). Kajian terhadap beberapa
teks kitab kuning yang ada di pesantren.
Terkait dengan yang pertama, saya sudah melakukan wawancara dengan sejumlah tokoh di
dua pesantren: (1). Pesantren Syaichona Moh. Cholil: KH. Mohammad Nashih, Lc.,
Ibu Mutmaina, M.Si., Ust. Ihsan Fadlil, SE., dan Ust. Zainal Arifin; (2).
Pesantren Salafiyah Syafi’iyah Sukorejo-Situbondo: Ibu Nyai Djuwairiyah, Ust.
DR. Abu Yazid, LL.M., Ust. Imam Nakha’i, M.H.I., Ust. Hasana, Ust. Mahmudi
Bajuri, Ust. Lalu Supratman, dan beberapa santri.
Sementara terkait dengan yang kedua, saya melakukan pengamatan langsung terhadap kondisi komplek Pesantren
Syaichona Moh. Cholil Bangkalan-Madura dan Salafiyah Syafi’iyah
Sukorejo-Situbondo yang meliputi masjid (mushalla), madrasah, lembaga-lembaga
pendidikan yang ada di bawah naungan pesantren, asrama-asrama santri, sekretariat
pesantren, dan sarana lainnya. Saya juga melakukan pengamatan langsung terhadap
kondisi sekitar pesantren guna melihat secara lebih jelas pengaruh pesantren
terhadap masyarakat dalam konteks pemberdayaan mereka.
Adapun
kaitannya dengan yang ketiga, saya
mencoba mengkaji sejumlah kitab yang diduga kuat memuat nilai-nilai yang
berhubungan dengan obyek penelitian, yaitu nilai-nilai kesetaraan, toleransi,
keadilan, anti-kekerasan, dan sejumlah nilai lain yang ada kaitannya dengan
pembentukan karakter individu santri. Untuk itu, selain melakukan kajian
sendiri, saya juga mendiskusikan dengan beberapa tokoh yang dianggap berperan
aktif mengajarkan kitab-kitab tersebut kepada para santri, baik melalui
pengajaran di kelas, musyawarah buku, bahtsul masa`il, dan lai
0 komentar:
Posting Komentar